Konvensi-Konvensi Internasional
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau
kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan
suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional
tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional
dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses
ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan
sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai
aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Konvensi-konvensi internasional merupakan suatu perjanjian internasional
antar negara yang dimana telah diatur dan disepakati bersama. Terkadang
perjanjian tersebut telah mengalami revisi dan penyempurnaan berulang
kali dengan tujuan memenuhi keinginan perlindungan terhadap hasil karya
dari si pencipta. Beberapa contoh konvensi-konvensi internasional
seperti Berner Convention atau Konvensi Berner, UCC (Universal Copyright Convention)
dan beberapa contoh konvensi-konvensi lainnya tentang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI). Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau
kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan
suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional
tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional
dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses
ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan
sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai
aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang
membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta.
Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini
tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan
tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar
diperoleh. Perlindungan hak cipta secara internasional. Perlindungan
hak cipta secara internasional terdiri dari 2 konvensi yaitu Berner
Convention dan Universal Copyright Convention.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau
kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan
suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional
tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional
dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses
ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan
sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai
aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang
membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta.
Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini
tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan
tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar
diperoleh. Perlindungan hak cipta secara internasional. Perlindungan
hak cipta secara internasional terdiri dari 2 konvensi yaitu Berner
Convention dan Universal Copyright Convention.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau
kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan
suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional
tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional
dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses
ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan
sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai
aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang
membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta.
Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini
tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan
tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar
diperoleh. Perlindungan hak cipta secara internasional. Perlindungan
hak cipta secara internasional terdiri dari 2 konvensi yaitu Berner
Convention dan Universal Copyright Convention.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau
kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian
antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan
suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional
tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional
dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses
ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan
sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai
aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang
membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta.
Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini
tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan
tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar
diperoleh. Perlindungan hak cipta secara internasional. Perlindungan
hak cipta secara internasional terdiri dari 2 konvensi yaitu Berner
Convention dan Universal Copyright Convention.
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi
diartikan sebagai Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat,
tradisi) dan Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum
konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta
tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum
internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis
yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau
prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di
Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan
oleh DPR. Definisi Konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis
adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut :
1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan
terpelihara dalam praktek penyelenggarannya
2. Tidak bertentangan dengan
Undang-undang Dasar dan berjalan sejajar
3. Diterima oleh seluruh rakyat
4.
Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar
yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.
Perlindungan hak cipta secara domestik saja
tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan
kreativitas para pencipta. Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang
karya cipta ini tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap
saat dan tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar
diperoleh. Perlindungan hak cipta secara internasional. Perlindungan hak cipta
secara internasional terdiri dari 2 konvensi yaitu Berner Convention dan
Universal Copyright Convention.
A. Berner Convention atau Konvensi Berner
Konvensi ini merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta,
pertama kali disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886. Konvensi Bern
mengikuti langkah Konvensi Paris pada tahun 1883, yang dimana kedua
badan tersebut bergabung menjadi Biro Internasional Bersatu untuk
perlindungan kekayaan intelektual di Bern pada tahun 1893. Konvensi Bern
direvisi di Parispada tahun 1896 dan di Berlin pada tahun 1908,
kemudian diselesaikan di Bern pada tahun 1914. Konvensi Bern direvisi
kembali di Roma pada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di
Stockholm pada tahun 1967 dan di Paris pada tahun 1971, dan diubah
kembali pada tahun 1979.
Pada Januari 2006, terdapat 160 negara anggota konvensi Bern. Konvensi
Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak
cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut
menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern),
seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri. Konvensi Bern
bukanlah sekedar persetujuan tentang bagaimana hak cipta harus diatur di
negara-negara anggotanya, melainkan menetapkan serangkaian tolak ukur
minimum yang harus dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari
masing-masing negara.
Hak cipta dibawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan
pendaftaran secara eksplisit. Konvensi Bern menyatakan bahwa semua
karya, kecuali fotografi dan sinematografi, akan dilindungi
sekurang-kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal
dunia, namun masing-masing negara anggotanya bebas untuk memberikan
perlindungan untuk jangka waktu yang lebih lama. Untuk fotografi,
Konvensi Bern menetapkan batas minimum selama 25 tahun sejak tahun foto
tersebut dibuat, dan untuk sinematografi batas minimumnya adalah 50
tahun sejak pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun setelah pembuatannya
apabila film tersebut tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun
sejak pembuatannya.
Meskipun Konvensi Bern menyatakan bahwa undang-undang hak cipta dari
negara yang melindungi suatu karya tertentu akan diberlakukan, ayat 7.8
menyatakan bahwa "kecuali undang-undang dari negara itu menyatakan hal
yang berbeda, maka masa perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang
ditetapkan dari negara asal dari karya itu", artinya si pengarang
biasanya tidak berhak mendapatkan perlindungan yang lebih lama di luar
negeri daripada di negeri asalnya, meskipun misalnya undang-undang di
luar negeri memberikan perlindungan yang lebih lama.
Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi
ini adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang
sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu
hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta
yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan
pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang
diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung
dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas
dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang
dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya
terhadap warga negaranya sendiri. Pengecualian diberikan kepada negara
berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang
melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak
melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan
ekonomi, social, atau cultural.
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota
Konvensi Barn, menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam
perundang-undangan nasionalnya di bidang hak cipta, tiga prinsip dasar yang
dianut Konvensi Bern memberi 3 prinsip:
a. Prinsip National Treatment. Ciptaan
yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptan seorang
warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali
diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat
perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang
pencipta warga negara sendiri.
b. Prinsip Automatic Protection. Pemberian
perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memeruhi syarat
apapun (must not be upon complience with any formality).
c. Prinsip
Independence of Protection. Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus
bergantung kepada pengaturan perlindungaan hukum negara asal pencipta.
Mengenai
pengaturan standar-standar minimum perlindungan hukum ciptaan-ciptaan, hak-hak
pencipta, dan jangka waktu perlindungan yang diberikan, pengaturannya adalah:
1) Ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu
pengetahuan, dan seni dalam bentuk apapun perwujudannya.
2) Kecuali jika
ditentukan dengan cara reservasi (reservation), pembatasan (limitation), atau
pengecualian (exception) yang tergolong sebagai hak-hak ekskluisif:
i. Hak
untuk menterjemahkan.
ii. Hak mempertunjukkan di mukaa umum ciptaan drama,
drama musik, dan ciptaan music.
iii. Hak mendeklarasikan (to recite) di muka
umum suatu ciptaan sastra.
iv. Hak penyiaran (broadcast).
v. Hak membuat
reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun.
vi. Hak Menggunakan
ciptaanya sebagai bahan untuk ciptaan audiovisual.
vii. Hak membuat aransemen
(arrangements) dan adapsi (adaptations) dari suatu ciptaan. Konvensi Bern juga
mengatur sekumpulan hak yang dinamakan hak-hak moral (”droit moral”), hak
pencipta untuk mengkluim sebagai pencipta suatu ciptaan dan hak pencipta untuk
mengarjukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah,
mengurangi, atau menambah keaslian ciptaannya yang dapat merugikan kehormatan
dan reputasi pencipta.
B. Universal Copyright Convention (UCC)
Konvensi Internasional Hak Cipta (Univesal Copyright Convention)
diselenggarakan pada tahun 1952 yang ditandatangani di Geneva. Konvensi
ini direvisi kembali di Paris pada tahun 1971, menentukan secara umum
lamanya perlindungan hak cipta tidak boleh kurang dari selama hidup
pencipta dan 25 (dua puluh lima) tahun setelah meninggal dunia. Pada
ayat (2b) disebutkan bahwa perlindungan hak cipta bisa didasarkan pada
saat pertama diumumkan atau didaftarkan. Lamanya perlindungan tidak
boleh kurang dari 25 (dua puluh lima) tahun mulai pada saat pengumuman
atau pendaftaran karya cipta tersebut.
Konvensi Internasional Hak Cipta (Universal Copyright Convention)
pada pasal 4 ayat (3), memberikan ketentuan khusus lamanya perlindungan
untuk karya cipta tertentu, yaitu bidang fotografi dan seni pakai (applied art). Lamanya jangka waktu perlindungan bisa disesuaikan dengan lamanya perlindungan untuk bidang pekerjaan artistik (artistic work), atau paling minimal tidak boleh kurang dari 10 (sepuluh) tahun.
Konvensi ini merupakan suatu hasil kerja PBB
melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan
dengan hak cipta yang berlaku di kalangan masyarakat inrernasional. Di satu
pihak ada sebagian angota masyarakat internasional yang menganut civil law
system, berkelompok keanggotaannya pada Konvensi Bern, dan di pihak lain ada
sebagian anggota masyarakat internasional yang menganut common law system
berkelompok pada Konvensi-Konvensi Hak Cipta Regional yang terutama berlaku di
negara-negara Amerika Latin dan Amerika serikat. Untuk menjembatani dua kelompok
yang berbeda sistem pengaturan tentang hak cipta ini, PBB melalai UNESCO
menciptakan suatu kompromi yang merupakan: “A new common dinamisator convention
that was intended to establist a minimum level of international copyright
relations throughout the world, without weakening or supplanting the Bern
Convention”. Pada 6 September 1952 untuk memenuhi kepatuhan adanya suatu Common
Dinaminator Convention lahirlah Universal Copyright Convention (UCC) yang
ditandalangani di Geneva kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang
diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955.
Ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan menurut Pasal 1 konvensi antara lain:
1. Adequate and Effective
Protection. Menurut Pasal I konvensi setiap negara peserta perjanjian berkewajiban
memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap hak-hak
pencipta dan pemegang hak cipta.
2. National Treatment. Pasal II menetapkan
bahwa ciptaan-ciptaan yang diterbitkan oleh warga negara dari salah satu negara
peserta perjanjian dan ciptaan-ciptaan yang diterbitkan pertama kali di salah
satu negara peserta perjanjian, akan meemperoleh perlakuan perlindungan hukum
hak cipta yang sama seperti diberikan kepada warga negaranya sendiri yang
menerbitkan untuk pertama kali di negara tempat dia menjadi warga negara.
3.
Formalities. Pasaf III yang merupakan manifestasi kompromistis dari UUC
terhadap dua aliran falsafah yang ada, menetapkan bahwa suatu negara peserta
perjanjian yang menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya syarat-syarat tertentu
sebagai formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti wajib simpan (deposit),
pendaftaran (registration), akta notaries (notarial certificates) atau bukti
pembayaran royalty dari penerbit (payment of fee), akan dianggap rnerupakan
bukti timbulnya hak cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan
tanda C dan di belakangnya tercantum nama pemegang hak cipta kemudian disertai
tahun penerbitan pertama kali.
4. Duration of Protection. Pasal IV, suatu
jangka waktu minimum sebagi ketentuan untuk perlindungan hukum selama hidup
pencipta ditambah paling sedikit 25 tahun setelah kematian pencipta.
5.
Translations Rights. Pasal V, hak cipta mencakup juga hak eksklusif pencipta
untuk membuat, penerbitkan, dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan
dari ciptaannya. Namun setelah tujuh tahun terlewatkan, tanpa adana
penerjemahan yang, dilakukan oleh pencipta, negara peserta konvensi dapat
memberikan hak penerjemahan kepada warga negaranya dengan memenuhi
syarat-syarat seperti ditetapkan konvensi.
6. Juridiction of the international
Court of Justice. Pasal XV, suatu sengketa yang timbul antara dua atau lebih
negara anggota konvensi mengenai penafsiran atau pelaksanaan konvensi, yang
tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. dapat diajukan ke muka
Mahkamah lnternasional untuk dimintakan penyelesaian sengketa yang diajukan
kecuali jika pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk memakai cara lain.
7. Bern Safeguard Clause. Pasal XVII UCC beserta appendix merupakan kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari pasal ini, merupakan salah satu sarana penting
untuk pemenuhau kebutuhan ini. Konvensi bern menganut dasar falsafah eropa yang
mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga
menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.
Sedangkan
Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah
eropa dan amerika. Yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si
pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal
Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya
ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Sehingga ruang
lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh
peraturan yang melahirkan hak tersebut.
C. Konvensi-Konvensi Tentang HAKI
Paris Treaty merupakan lanjutan dari Kongres Wina pada tahun 1873
di Wina. Konvensi ini merupakan rancangan akhir yang mengusulkan sebuah
serikat internasional untuk perlindungan aset industri yang disipkan di
Perancis, dan dikirim oleh pemerintah Perancis ke negara lain bersama
undangan untuk menghadiri konferensi internasional pada tahun 1880 di
Paris. Konferensi itu mengadopsi rancangan konvensi yang terkandung
dalam esensi ketentuan substantif hari ini masih merupakan fitur utama
dari Konvensi Paris.
Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris dibagi menjadi kategori utama : Pertama, berisi aturan hukum substantif yang menjamin hak dasar yang
dikenal sebagai hak kesamaan status di setiap negara anggota; Kedua,
berisi menetapkan hak dasar lain yang dikenal sebagai hak prioritas;
Ketiga, mendefinisikan sejumlah aturan umum di bidang hukum substantif,
baik aturan menetapkan hak dan kewajiban perseorangan dan badan hukum
atau aturan-aturan yang membutuhkan atau mengizinkan negara-negara
anggota untuk memberlakukan undang-undang berikut aturan; Keempat,
adanya kerangka administrasi yang telah dibentuk untuk menerapkan
konvensi. Konvensi Paris disahkan dan dituangkan dengan nama Paris Convention or the Protection of Industrial Property.
Secara umum, Konvensi Paris mengatur hak kekayaan intelektual negara
diakses bagi warga negara pihak negara-negara lain untuk konvensi, yang
memungkinkan tingkat perlindungan yang sama dan solusi hukum yang sama
terhadap pelanggaran. Arti Konvensi Paris bagi rezim perlindungan hak
cipta atau HAKI di dunia yaitu sebagai dasar legal global pertama yang
berfokus pada perlindungan hak kepemilikan atau hak cipta.
Konvensi-konvensi lainnya tentang HAKI seperti World Intellectual Property Organization
(WIPO) yang terbentuk pada tanggal 14 Juli 1967 di Stockholm. Badan ini
merupakan salah satu badan khusus PBB yang dibentuk dengan tujuan untuk
mendorong kreativitas dan memperkenalkan perlindungan kekayaan
intelektual ke seluruh dunia. Pada dasarnya, WIPO didirikan untuk
melindungi hak cipta dan kebudayaan yang dimiliki oleh negara-negara
anggota PBB. Adapun tugas-tugas WIPO dalam bidang HAKI, antara lain
mengurus kerjasama administrasi pembentukan perjanjian atau traktat
internasional dalam rangka perlindungan hak kekayaan intelektual,
mengembangkan dan melindungi hak kekayaan intelektual di seluruh dunia,
mengadakan kerjasama dengam organisasi internasional lainnya, memberikan
bantuan teknik kepada negara-negara berkembang, serta mengumpulkan dan
menyebarluaskan informasi.
Contoh konvensi berikutnya yaitu Trade Related Aspect Intellectual Property Rights
(TRIPs) sebagai instrumen hukum pengelolaan hak kekayaan intelektual
dunia sebenanya tidak terlepas dari pelaksanaan Uruguay Round pada tahun
1990. TRIPs ini adalah puncak dari lobi intens oleh Amerika Serikat
yang juga didukung oleh Uni Eropa, Jepang, dan negara maju lainnya.
Ketentuan substantif TRIPs ini dalam hak kekayaan intelektual di bidang
industri seperti hak paten, ketentuan merek dagang, nama dagang, modal
utilitas, desain industri dan persaingan tidak sehat lainnya yang
diadopsi dari Konvensi Paris. Sedangkan untuk perlindungan seperti karya
sastra dan seni, TRIPs lebih banyak mengadopsi persetujuan Bern. Dalam
praktiknya, TRIPs mewajibkan setiap negara anggotanya untuk memberikan
perlindungan yang kuat terhadap hak kekayaan intelektual.
Adapun tujuan dan prinsip dari TRIPs antara lain mengurangi penyimpangan
dan hambatan bagi perdagangan internasional, menjamin bahwa tindakan
dan prosedur untuk menegakkan hak kekayaan intelektual tidak menjadi
kendala bagi perdagangan yang sah. Selain itu, tujuan dan prinsip
lainnya adalah mendukung motivasi, alih dan teknologi untuk keuntungan
bersama antara produsen dan pengguna pengetahuan teknologi dengan cara
yang kondusif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
CONTOH KASUS
Contoh hukum internasional yang akan diurai melalui artikel ini adalah
beberapa contoh peraturan dalam hukum internasional. Seperti yang telah
dijelaskan dalam artikel dari kami yang sebelumnya bahwa hukum
internasional merupakan bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
yang ruang lingkupnya internasional (lintas Negara).
Sehubungan dengan hal tersebut maka terdapat beberapa peraturan hukum
internasional yang dapat dijelaskan sebagai contoh hukum internasional,
diantaranya adalah Piagam PBB, Piagam Mahkamah Internasional
(International Court of Justice), Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi Milenium
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lain sebagainya.
Contoh Hukum Internasional bidang HAM
Contoh hukum internasional yang pertama adalah deklarasi universal hak
asasi manusia. Deklarasi universal terhadap hak asasi manusia ini
diselenggarakan di Kota San Fransisco, Amerika Serikat pada tanggal 10
Desember 1948.
Deklarasi universal terhadap hak asasi manusia tersebut merupakan
dokumen tertulis pertama mengenai hak asasi manusia yang diterima oleh
semua negara. Oleh karena itu, majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyebut deklarasi HAM Universal tahun 1948 sebagai pencapaian
standar bersama bagi semua orang dan bangsa di dunia.
Deklarasi universal terhadap hak asasi manusia ini kemudian menjadi
nafas dan inspirasi bagi semua instrumen hukum internasional yang
terkait dengan Hak Asasi Manusia. Dokumen deklarasi universal terhadap
hak asasi manusia tahun 1948 menjadi acuan pokok dalam penyusunan dua
pilar utama hukum internasional yang terkait dengan Hak Asasi Manusia,
yakni Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun
1966 dan Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sosial, Ekonomi dan
Budaya tahun 1966.
Selanjutnya dapat disebutkan beberapa contoh hukum internasional yang
berkaitan dengan hak asasi manusia, antara lain: Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights), Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide), Konvensi Menentang Penyiksaan
(Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women), Konvensi Hak Anak (Convention on
the Rights of the Child), Konvensi Mengenai Status Pengungsi
(Convention relating to the Status of Refugees), dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Beberapa contoh hukum internasional yang disebutkan diatas merupakan
contoh hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Selain yang berkaitan dengan hak asasi manusia, contoh hukum
internasional juga dapat kita lihat pada bidang lainnya.
Contoh Hukum Internasional Bidang Lingkungan Hidup
Contoh hukum internasional di bidang lingkungan hidup relatif banyak.
Dewasa ini jumlah perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup,
baik yang sifatnya mulitirateral atau bilateral dan regional maupun
global telah berkembang hingga mencapai 300 jenis. Bahka dalam world
bank report 1995, disebutkan bahwa telah terdapat lebih dari 700
perjanjian internasional multirateral dan 1000 perjanjian internasional
bilateral yang didesain untuk mengatur permasalahan terkait dengan
bidang lingkungan hidup, baik dalam bentuk konvensi, protocol maupun
amandemen.
Beberapa contoh hukum internasional terkait dengan bidang lingkungan
hidup adalah Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Tahun 1982, Konvensi
Perlindungan Lapisan Ozon Tahun 1985, Konvensi PBB mengenai Perubahan
Iklim Tahun 1992, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United
Nations Convention on the Biological Diversity/UNCBD), Konvensi
Stockholm mengenai Persistens Organic Pollutans (POPs) dan lain
sebagainya.
Contoh Hukum Internasional Yang Berkaitan Dengan Perang
Beberapa contoh hukum internasional yang berkaitan dengan perang
diantaranya adalah The Fourth Geneva Convention Relative to the
Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949,
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and
relating to the Protection of Victims of Non-International Armed
Conflicts (Protocol II), 8 June 1997 dan Rome Statute of the
International Criminal Court.
Ketentuan mengenai hukum perang sebagaimana diatur dalam The Fourth
Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time
of War of 12 August 1949 mengikat juga untuk diberlakukan di Negara
Indonesia, oleh karena Negara Indonesia telah menjadi anggota Geneva
Conventions 1949 sebagaimana diratifikasi melalui Undang-Undang No. 59
Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh
Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949.
Penutup
Sebenarnya contoh hukum internasional dapat kita temukan di hampir
seluruh bidang kehidupan masyarakat. Jumlahnya cukup banyak dan tidak
sempat dijelaskan disini, diantaranya terdapat contoh hukum
internasional bidang perburuhan yakni Konvensi Organisasi Buruh
Internasional No. 182 tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Kemudian
ada pula contoh hukum internasional di bidang ekonomi, sosial dan budaya
yakni Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Tidak semua contoh hukum internasional tersebut berlaku di Negara
Indonesia, hanya peraturan tertentu saja yang diratifikasi melalui
peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Negara Indonesia.
SUMBER
http://www.menlh.go.id/konvensi-internasional-tentang-merkuri-2013/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/public-administrations/2116871-pengertian-konvensi/
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_hak_kekayaan_industri.pdf
http://www.menlh.go.id/indonesia-berperan-dalam-pertemuan-internasional-tentang
pengaturan-pergerakan-limbah-b3-dan-b3-konvensi-basel-konvensi-rotterdam-dan
konvensi-stockholm/
http://statushukum.com/contoh-hukum-internasional.html
http://id.shvoong.com/law-and-politics/public-administrations/2116871-pengertian
konvensi /#ixzz2UqtAFAC6
http://henmedya.staff.gunadarma.ac.id
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
CONTOH KASUS Contoh
hukum internasional yang akan diurai melalui artikel ini adalah beberapa contoh
peraturan dalam hukum internasional. Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel
dari kami yang sebelumnya bahwa hukum internasional merupakan bagian hukum yang
mengatur aktivitas entitas yang ruang lingkupnya internasional (lintas Negara).
Sehubungan dengan hal tersebut maka terdapat beberapa peraturan hukum
internasional yang dapat dijelaskan sebagai contoh hukum internasional,
diantaranya adalah Piagam PBB, Piagam Mahkamah Internasional (International
Court of Justice), Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 18
September 2000 tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lain
sebagainya.
Contoh Hukum Internasional bidang HAM Contoh hukum internasional
yang pertama adalah deklarasi universal hak asasi manusia. Deklarasi universal
terhadap hak asasi manusia ini diselenggarakan di Kota San Fransisco, Amerika
Serikat pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi universal terhadap hak asasi
manusia tersebut merupakan dokumen tertulis pertama mengenai hak asasi manusia
yang diterima oleh semua negara. Oleh karena itu, majelis umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut deklarasi HAM Universal tahun 1948 sebagai
pencapaian standar bersama bagi semua orang dan bangsa di dunia. Deklarasi
universal terhadap hak asasi manusia ini kemudian menjadi nafas dan inspirasi
bagi semua instrumen hukum internasional yang terkait dengan Hak Asasi Manusia.
Dokumen deklarasi universal terhadap hak asasi manusia tahun 1948 menjadi acuan
pokok dalam penyusunan dua pilar utama hukum internasional yang terkait dengan
Hak Asasi Manusia, yakni Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan
Politik Tahun 1966 dan Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sosial, Ekonomi
dan Budaya tahun 1966.
Selanjutnya dapat disebutkan beberapa contoh hukum
internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia, antara lain: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights), Konvensi Genosida (Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide), Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention
against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment),
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women), Konvensi Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child), Konvensi Mengenai Status Pengungsi
(Convention relating to the Status of Refugees), dan masih banyak lagi yang
lainnya. Beberapa contoh hukum internasional yang disebutkan diatas merupakan
contoh hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Selain yang
berkaitan dengan hak asasi manusia,
Contoh hukum internasional juga dapat kita
lihat pada bidang lainnya. Contoh Hukum Internasional Bidang Lingkungan Hidup
Contoh hukum internasional di bidang lingkungan hidup relatif banyak. Dewasa
ini jumlah perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup, baik yang
sifatnya mulitirateral atau bilateral dan regional maupun global telah
berkembang hingga mencapai 300 jenis. Bahka dalam world bank report 1995,
disebutkan bahwa telah terdapat lebih dari 700 perjanjian internasional
multirateral dan 1000 perjanjian internasional bilateral yang didesain untuk
mengatur permasalahan terkait dengan bidang lingkungan hidup, baik dalam bentuk
konvensi, protocol maupun amandemen. Beberapa contoh hukum internasional
terkait dengan bidang lingkungan hidup adalah Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
Tahun 1982, Konvensi Perlindungan Lapisan Ozon Tahun 1985, Konvensi PBB
mengenai Perubahan Iklim Tahun 1992, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman
Hayati (United Nations Convention on the Biological Diversity/UNCBD), Konvensi
Stockholm mengenai Persistens Organic Pollutans (POPs) dan lain sebagainya.
Contoh
Hukum Internasional Yang Berkaitan Dengan Perang Beberapa contoh hukum
internasional yang berkaitan dengan perang diantaranya adalah The Fourth Geneva
Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12
August 1949, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949,
and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts
(Protocol II), 8 June 1997 dan Rome Statute of the International Criminal
Court. Ketentuan mengenai hukum perang sebagaimana diatur dalam The Fourth
Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War
of 12 August 1949 mengikat juga untuk diberlakukan di Negara Indonesia, oleh
karena Negara Indonesia telah menjadi anggota Geneva Conventions 1949
sebagaimana diratifikasi melalui Undang-Undang No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut
Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12
Agustus 1949.
Penutup Sebenarnya contoh hukum internasional dapat kita temukan
di hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. Jumlahnya cukup banyak dan tidak
sempat dijelaskan disini, diantaranya terdapat contoh hukum internasional
bidang perburuhan yakni Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 182 tahun
1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk bagi Anak.
Kemudian ada pula contoh hukum internasional di
bidang ekonomi, sosial dan budaya yakni Kovenan Internasional Tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Tidak semua contoh hukum internasional tersebut
berlaku di Negara Indonesia, hanya peraturan tertentu saja yang diratifikasi
melalui peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Negara Indonesia.
Referensi:
http://www.menlh.go.id/konvensi-internasional-tentang-merkuri-2013/
http://id.shvoong.com/law-and-politics/public-administrations/2116871-pengertian-konvensi/
http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_ruu_tentang_hak_kekayaan_industri.pdf
http://www.menlh.go.id/indonesia-berperan-dalam-pertemuan-internasional-tentang
pengaturan-pergerakan-limbah-b3-dan-b3-konvensi-basel-konvensi-rotterdam-dan
konvensi-stockholm/
http://statushukum.com/contoh-hukum-internasional.html
http://id.shvoong.com/law-and-politics/public-administrations/2116871-pengertian
konvensi /#ixzz2UqtAFAC6 http://henmedya.staff.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar