Selasa, 08 Oktober 2013

1ID09 - TUGAS KE-2 - ILMU BUDAYA DASAR

Pilihlah satu budaya di suatu daerah yang ada di Indonesia. Kemudian anda analisis salah satu budaya tersebut sesuai dengan hasil pengamatan anda, pengetahuan anda tentang asal-usul budayanya, keunikannya, nilai-nilai sejarah lokal apa yang melatarbelakangi lahirnya budaya tersebut dan apakah budaya tersebut masih di lestarikan hingga sekarang.


Assalamualaikum Wr.Wb
Kebudayaan Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan 


           Banyaknya kebudayaan Indonesia terlihat dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Seperti halnya Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing, Sumatra Utara ini . "Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang.

             Tarian Tor-tor khas suku Batak, Sumatera Utara. Tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan terompet batak.

            Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.

          Jenis tari tor-tor pun beragam, ada yang dinamakan tor-tor Pangurason (tari pembersihan). Tari tor-tor Pangurason biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tor-tor Sipitu Cawan ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, menurut legenda tari berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak Gunung Pusuk Buhit. Lalu ada tor-tor Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual.

         Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat musik/gondang (Uninguningan). Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, ulos berarti kain. Cara membuat ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin. Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak. Mulanya ulos dikenakan di dalam bentuk selendang atau sarung saja, kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak, namun kini banyak dijumpai di dalam bentuk produk sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian, alas meja, dasi,dompet, dan gorden.

         Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh. Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
         

  

          Menurut Sejarah dan Salah seorang Pendiri Sanggar Budaya Batak yang bernama Togarma. Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. "Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug. Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara.

        Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata "Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. "Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui," kata Togarma kepada National Geographic Indonesia, Selasa (19/6).
      
  Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu. Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur. 

         Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan. Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.

        Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan sekarang sebagian orang tidak ada yang tahu, kurangnya perhatian dan kurangnya apresiasi . Sulit mencari pihak yang mau membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih tumbuh dan terlihat keberadannya.


Wassalamualaikum Wr.Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar